LOMBA MENULIS 2018 | NUR AFIFAH - SYURGA YANG DIRINDUKAN
SYURGA YANG
DIRINDUKAN
(اي سعدة)
Oleh : Nur Afifah
Pagi yang cerah, mentaripun menyapa semesta, menghiasi alam dengan
secercah cahayanya yang terang hingga mampu memberikan ketakjuban tersendiri
pada setiap makhluk yang bernyawa. Itulah yang aku inginkan. Aku ingin
menjalani hari sebagaimana mentari yang selalu bersinar terang tanpa pernah
redup cahayanya. Aku ingin bisa hidup bahagia tanpa adanya kesusahan yang
menyelimuti. Aku sadar bahwa semua jalan hidup seseorang sudah digariskan oleh
Sang Kuasa. Manis pahitnya kehidupan, semua harus dijalani walau berat dan
sulit.
Seperti diriku, aku adalah salah satu dari sekian banyaknya pejuang
ilmu yang sedang berjuang meraih kebahagiaan baik didunia ataupun diakhirat.
Berbagai lika-liku kehidupan datang ditengah perjuanganku, terlebih ketika aku
mulai menggapai Alfiyah Ibnu Malik. Sejak masa penggapaianku 250 bait sampai
500 bait (sekarang) aku berusaha bertahan dan sabar menjalani hidup ditengah
keterbatasan biaya. Sempat aku menyerah, memaksa kepada kedua orang tuaku untuk
mengizinkanku pulang. Karena aku sudah tidak sabar lagi dan tidak sanggup
dengan kesusahan yang dialami orang tuaku. Permintaanku pun terpenuhi. Tinggal
menunggu satu Minggu lagi untuk pulang . Dan selama 1 minggu itu aku
benar-benar dalam kesedihan. Penjara suci yang sudah menjadi bagian hidupku
sekaligus tempat tinggalku akan aku korbankan demi orang tuaku. Aku tak bisa
membayangkan perasaanku saat itu. Disaat aku mulai merasakan nikmatnya mencari
ilmu, aku dihadapkan pada sebuah permasalahan yang membuatku rapuh dan tak
berdaya.
“Aku baru memasuki tiga tahun di Pondok Pesantren ini, apakah aku
akan pulang dengan tanpa membawa apa-apa.” Kata-kata itu selalu aku katakan
dalam benakku.
“Kamu pasti bisa, kamu nggak boleh nyerah, yakinkan dirimu untuk
bisa bertahan disini.” Salah satu nasehat temanku untuk membangkitkan semangat
dan keyakinanku.
“Aku nggak tahu, aku bingung, apa yang harus aku lakukan dalam
waktu seminggu ini.” tuturku pada temanku.
“Cobalah meminta kepada Allah jalan keluar dari permasalahanmu ini,
mintalah yang terbaik pada-Nya.” Kata temanku menasihatiku.
Aku pun menerima nasehatnya. Aku memohon kepada Allah apa yang
terbaik untukku. Dan aku pasrah apapun yang terjadi nanti harus aku terima.
Kala itu, dua hari sebelum aku pergi orang tuaku mengabariku lewat
telfon bahwa aku tak jadi pulang, aku harus tetap bertahan dan sabar menjalani
semua ini. Mereka (orang tuaku) akan mengusahakan agar aku teteap berada di
Pondok Pesantren. Terutama Ayah yang paling mendukungku, mungkin ayah tidak
ingin aku mengalami nasib yang sama seperti beliau. Dulu, ayahku pernah belajar
di Pondok Pesantren ini kurang lebih tujuh tahun lamanya. Beliau terpaksa harus
memutuskan masa belajarnya karena ketidakadaan biaya. Mungkin itulah alasannya,
ayah tidak ingin aku merasakan kesedihan yang pernah dialaminya. Aku pun
bersyukur atsa semua ini. Mungkin ini adalah jawaban yang Allah berikan
kepadaku dari semua do’aku. Bagiku ini adalah kesempatan baru untuk memulai
lebih baik. Terkadang aku tidak yakin apakah aku bisa menjalani semua ini,
mengingat tanggung jawabku sebagai anak tertua dari kedua orang tuaku. aku
harus siap kapanpun waktunya aku pergi dari penjara suci ini.
Hari-hari berlalu, masalah ekonomi
memang belum berlalu. Tapi aku sudah terbiasa dengan hal itu. Karena aku
sudah merasakannya sejak masih duduk dibangku SMP. Teringat masa-masa sekolah,
berbekal niat dengan sepatu dan tas butut yang setia menemaniku untuk
pulang-pergi ke sekolah, karena keterbatasan biaya, aku harus menabung uang
sakuku untuk bisa mengganti sepatu dan tas yang sudah rusak menjadi baru.
Itu adalah sebagian kecil dari pengalamanku, dan aku tidak merasa
kaget jika saat ini aku mengalaminya. Selain masalah ekonomi yang merintangi
perjuanganku, aku juga ditemui oleh masalah hafalan. Memang, sejak aku mulai
belajar di M4H ASSALAFIYAH ini aku memiliki kekurangan dalam hal menghafal,
terlebih ketika aku mulai menghafal Alfiyah. Disetiap muhafadzoh baik 250 bait
atau 500 bait, aku tidak merasa puas dengan hasilku. Walau aku telah bekerja keras, usaha dzohir ataupun
bathin (yakni do’a dan amalan) selalu aku lakukan, tapi tetap saja hasilnya
tidak memuaskan.
Bahkan, ketika menjelang muhafadzoh 500 bait kemarin, aku khawatir,
aku takut akan mengalami kekecewaan seperti muhafadzoh 250 bait yang lalu. Saat
itu aku benar-benar belum siap, sedangkan tempo tinggal menghitung hari, dan
akhirnya akupun kembali rapuh. Nafsuku terus mengajakku untuk mengakhiri
perjuanganku. Disatu sisi hatiku berkata “Aku lelah, aku malu pada semua orang
karena hafalanku tidak lancer seperti hafalan mereka dan sampai kapan aku akan
terus seperti ini?”. Dan disisi lain, hatiku juga berkata “Tapi aku masih ingin
disini, aku masih ingin belajar dan melanjutkan perjuanganku menggapai
Alfiyah”. Sampai akhirnya aku sadar bahwa semua ini adalah ujianku dan aku
harus sabar dalam menjalaninya. Bagiku, selagi orang tuaku masih mendukung dan
aku masih memiliki kesemangatan. maka, aku akan terus melanjutkan perjuanganku
walau badai cobaan terus menghadang. Aku akui tidaklah mudah untuk meraih
Alfiyah hingga 1002. Aku harus mencintainya terlebih dahulu, karena pada
mulanya aku belum mencintainya, karena aku berfikir “Untuk apa aku menghafal
Alfiyah, di desaku mana tahu yang namanya Alfiyah, dan apa gunanya nanti?”.
Ternyata pemikiranku salah, aku mendapat nasehat dari seseorang “Menghafal
Alfiyah itu jangan melihat apa nantinya, tapi lihatlah proses perjuangannya,
Alfiyah itu mengajarkan kita untuk banyak bersabar, bagaimana cara kita membagi
waktu, dan jangan jadikan Alfiyah sebagai beban. Tapi, jadikanlah Alfiyah
sebagai tantangan yang harus kita lewati”.
Nasihat itu nmenjadi sebab aku mulai mencintai Alfiyah, dan dari
semua masalah yang ada, justru menjadikan semangatku terus berkobar, aku memang
berbeda dengan mereka. mereka anak orang yang berkecukupan, sedangkan aku hanya
anak dari Ayah yang pekerjaannya berjualan bakso keliling yang hasilnya tak seberapa. Dari rumah
mereka cukup menempuh jarak dengan beberapa menit, sedangkan aku harus menempuh
jarak dengan tiga jam lamanya dengan naik turun lima kendaraan, itupun aku
sendiri tanpa teman ataupun orang yang menemani. Itu adalah tantangan bagiku,
tak memandang sejauh mana aku menempuh jarak untuk mencari ilmu. Dan semua
perbedaan dan kekuranganku itu mengajarkan aku untuk bisa ikhlas dengan semua
ketentuan atau takdir yang telah digariskan oleh Allah. Dan dari semua itu juga
aku belajar untuk menghargai proses dan usahaku bukan hasil dari usaha
tersebut. Yang terpenting aku harus yakin kebahagiaan akan datang suatu saat
nanti.
“Hidup adalah sebuah perjuangan, tidak
ada kebahagiaan tanpa Diawali kesusahan, semakin besar usaha seseorang maka,
semakin besar pula kebahagiaan yang akan didapatkan. Setiap tetes keringat
orang tuaku adalah penyemangatku, adalah prinsipku dalam mengarungi samudera
kehidupan”.
Senin, 02 April 2018.
*Penulis adalah siswi IV Muta’allimat M4H ASSALAFIYAH 2017/2018
Komentar
Posting Komentar