LOMBA MENULIS 2018 | SITI MASFUROH - ATAS RENCANANYA YANG AGUNG, YANG MEMPERTEMUKANKU PADA KITAB YANG AGUNG


ATAS RENCANANYA YANG AGUNG, YANG MEMPERTEMUKANKU PADA KITAB YANG AGUNG
Oleh : Siti Masfuroh*

Dinginnya udara pagi, membuka aktifitasku kini, tak ada mentari... tak ada kehangatan... itulah yang aku rasakan saat ini. Terdiam daku hanya bisa menatap kosong dibalik ruas jendela yang dibasahi oleh rintikan hujan.

Sebut saja namaku Ryn. Kala itu aku masih duduk di kelas 3 MAN. Sebuah sekolah yang cukup ternama di kabupaten Cirebon. Hari-hariku ku habiskan dengan kesibukan-kesibukan yang cukup menyita waktu dan tenaga. Seperti halnya kesibukan para anak-anak sekolah pada umumnya.

Namun, aku sangat menikmatinya berkumpul dengan para aktifis, keorganisasian yang membuatku belajar memahami untuk menghadapi persoalan-persoalan kecil maupun besar.

Seiring perputaran waktu, masa-masa itupun kian usai, kini sudah saatnya aku harus bergerak melanjutkan mewujudkan mimpi-mimpiku. Namun, untuk mewujudkannya sebuah mimpi itu tidaklah mudah seperti mebalikkan telapak tangan. Pasang-surut akan sebuah pilihan yang kian menyempitkan fikiranku.

Akhirnya aku memantapkan diri pada sebuah Universitas Islam didaerah Jawa Timur. Tepatnya disebuah lereng bukit Dieng. Suasanya yang jauh dari kebisingan kota, sejuk asri serta para penduduk sekitar yang cukup ramah-tamah, juga ditinjau pada sebuah Pondok Pesantren disekelilingnya membuatku jatuh hati pada lingkungannya.

Jika bisa dihitung, mungkin aku tinggal menyelesaikan setengah step atau tahap lagi untuk meresmikan diriku menjadi seorang mahasiswa baru. Namun seketika itu, entah mengapa kedua orangtuaku berubah fikiran, dari yang semula mendukung kini malah sebaliknya. Alasan mereka cukup sederhana, karena sebuah kekhawatirannya padaku yang sebagai anak perempuannya. Bagaimana jika aku jauh dari pengawasan mereka? Sekejap mataku menetes membasahi pipi, dalam benakku aku sangat terjatuh kala itu.

Namun, fikiran jernihku mencoba mulai ikut mengimbanginya. Mungkin mereka benar, bukankah sebuah ridho Allah tergantung pada ridho kedua orang tua? Dengan perasaan berat hatiku aku mencoba mengikhlaskan apa yang kini telah terjadi, membatalkan semua persyaratan MABA (Mahasiswa Baru) dan menimbun dalam-dalam sebuah cita-cita dalam jiwa.

Tak ada rencana yang terfikirkan sebelumnya, jika kini aku menjatuhkan pilihanku pada sebuah Pondok Pesantren Assalafiyah Luwungragi Brebes, Jawa Tengah. Tepatnya dibawah pengasuhan guru yang mulia yakni, KH. Subhan Ma’mun dan Ny. Hj. Lailatul Munawwaroh. Lembutnya jemari beliau yang tiada henti terus menuntun kami, para santrinya yang masih bodoh dan miskin akan ilmu ini.

Perputaran jam terus melaju, hingga gelap kembali menjadi terang. Begitupun dengan kehadiran diriku disalah satu Pondok Pesantren Assalafiyah yang hingga kini aku terus mensyukurinya bisa menjadi salah satu santrinya. Bukan kemewahan, bahkan hanyalah sebuah kesederhanaan yang tercipta disini, bukan pula kemanjaan, tapi sebuah kemandirian yang aku rasakan disini.

2016. tahun dimana aku mengawalinya sebuah cerita baru, membuka lembaran putih yang tak ingin aku goreskan oleh nada hitam dengan sebuah kata “kekecewaan”, seperti apa yang sempat dulu pernah terjadi.

Dahulu aku pernah berfikir, kini aku tidak bisa mengepakkan sayapku untuk terbang mengudara bersama cita-cita yang akan ku raih. Namun semua itu salah! Dari sini pun aku aku mengubah pola-fikirku, justru kini aku harus mampu mengepakkan sayapku untuk terbang tinggi meraih cita-citaku bersama sebuah bait-bait syair nadzom yang luhur yakni, “Alfiyah Ibnu Malik”.

Tentang Alfiyah yang kini sedang aku arungi bersama teman-teman seperjuangan “Al-Mujahidah”. Dari sini aku memaknai arti sebuah perjuangan. Perjuangan tentang penggapaian 1002 bait nadzom Alfiyah. Mungkin sudah tidak asing lagi ditelinga “Jika Alfiyah itu bukanlah sebuah rintangan, melainkan sebuah tantangan yang harus dilewati”.

Akupun sempat merasakan jatuh-bangun dalam merangkul bait demi bait Alfiyah, pernah sama-sama merasakan sulitnya melafadzkan huruf per-hurufnya, pernah merasakan malas yang begitu hebatnya dalam menghafal, dan puncaknya adalah ketika sebuah permasalahanpun yang datang bertubi-tubi mulai dari teman sampai pada sebuah masalah dengan asatidz dan wali kelas, yang pada saat itu memang aku sedang mengemban sebuah amanat.

Hingga suatu waktu aku hampr saja ingin menyerah, ingin mengemas pergi jauh-jauh dari sebuah arti perjuangan ini. Namun Allah punya rencana yang baik, disaat aku ingin mengatakan “mundur”, Allah mengirimkan seseorang yang mampu menguatkanku hingga detik ini.

Entah sudah berapa banyak malaikat tak bersayap yang telah dikirimkan-Nya untuk meyemangatiku, meyakinkan diriku untuk tidak mengatakan mundur tapi mereka mengatakan majulah!  jangan pernah kau menengok ke belakang, jangan pula berhenti pada setiap langkahmu, fokuslah kepada apa yang akan kau raih, anggaplah semua masalah itu adalah sebuah kewajaran yang mesti adanya, sang pemberi warna dalam langkah menggapai sebuah kemenangan.

Mungkin, aku belum merasakan kesempurnaan yang hakiki dalam menggapai 1002 bait. Namun, dari setengah perjalananku dalam meraih Alfiyah ini banyak arti yang ku ambil pada diri.  Bercermin pada setiap kesalahan yang pernah terjadi utnuk menjadikan masa depan yang akan diraih  lebih terarah. Bagiku nadzom Alfiyah itu seperti halnya sebuah emoticon. Mengapa? Karena berbagai rasa berkecambuk, melebur menjadi satu didalamnya, terkadang kita merasakan bahagia, susah, senang, derita, amarah, senyuman, semuanya tertumpah-ruah sudah meng-aplikasi dalam lembaran-lembaran bait-bait yang luhur Alfiyah Ibnu Malik.

Roda kehidupan terus berputar, layaknya seperti siang berganti malam, dan gelap menjadi terang, begitupun dengan arti perjuangan penggapaian Alfiyah yang kini sedang aku arungi. Yakinlah! Bahwa esok akan memberikan cahaya kemenangan itu teriring dengan kebhagiaan. Meski dengan proses yang begitu panjang dan penuh aral, tidaklah menjadi sebuah penghalang bagiku. Bukankah sang patriot bangsa pernah berkata-kata.

“Habis gelap terbitlah terang”.

Setidaknya pedoman itulah yang akan selalu ku pegang serta menjadi tolak ukur bagiku ketika aku ingin mundur. Semangatt!! Untuk merangkai setengah perjalanan dari Alfiyah.

- Selesai –

Nama     : Siti Masfuroh
Kelas      : IV Muta’allimat (Al-Mujahidah)
Alamat  : The Rain City, Bagana Barudak Bogor.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

LOMBA MENULIS 2018 | SITI NURHAYATI - KEKURANGAN JANGAN KAU JADIKAN KELUHAN

LOMBA MENULIS 2018 | KHARISMATUL MAWADDAH - THE OUTSIDER ZAMAN NOW