LOMBA MENULIS 2018 | KHARISMATUL MAWADDAH - THE OUTSIDER ZAMAN NOW


THE OUTSIDER ZAMAN NOW
Oleh : Kharismatul Mawaddah*

Wah nggak kerasa nih, ternyata udah tahun 2018. Yang perasaan tahun kemarin baru aja aku nongol di dunia yang penuh cerita dan berjuta rasanya ini. Di zaman sekarang atau yang lagi nge- trend -nya disebut “zaman now”. Banyak nih kegilaan-kegilaan anak zaman sekarang yang lebih kelihatan nyelenehnya, wuih... gimana sih? cerita-cerita lucu mereka yang akan diceritakan dari sudut pandang para santri gaul, dari sisi yang paling menarik dan asik.

Disebuah Pondok Pesantren yang sangat terkenal seantero dunia, yang keren Kyainya, yang masyhur dan disegani, tempatnya yang strategis untuk proses belajar-mengajar, santri-santrinya yang yang tekun dan semangat menimba ilmu, beginilah cara unik mereka membentengi serta menjaga diri dari kegiatan “outside” yang aneh dan kelihatan lebih ke arah danger, berbahaya untuk para calon penerus bangsa yang harusnya mereka lagi giat-giatnya belajar dan mengejar cita-cita nih.

Dimulai disebuah pagi yang indah nan cerah di hari Jum’at yang selalu ditunggui oleh para pejuang kehidupan disebuah Kantin. Biar kelihatan keren, padahal sih cuman beli nasi di penjaja makanan. Sebut saja Bi Mawar, bukan nama sebenarnya.

“Bi, beli nasi dua nggih... sama tempenya seribu aja”. Kata seorang Santriwati yang cantik nan baik hati. Cuit.. cuit.. cuit.. hehehe.

“Nggih mba’e”. Jawab si Bibi sambil memberi dua bungkus dan dua biji tempe goreng.

“Makasih Bi..”.

Saat lagi asyik-asyiknya jalan menuju kamar, seorang Santriwati lain sebut saja Butet, tapi bukan asal Medan, lagi asyik  nyanyi-nyanyi yang suaranya amat merdu (merusak dunia).

“Apa salah dan dosaku sayang
Kenapa kau tolak cintaku sayang
Jaran goyang.. jaran goyang...”.

“Ngapain kamu nyannyi kayak gitu, Butet?”. Kata Saripeh yang mungkin sudah nggak kuat mendengar suara Butet yang amat ancur.

“Memang kenapa wahai Saudariku yang dirahmati allah?”. Jawab Butet enteng.

“Haram kalau anti nyanyi begituan”. Kata Saripeh mulai serius.

“Lho kok bisa begitu? Kan itu lagu lagi nge- trend – nge- trendnya”. Kata Butet penuh selidik.

“Siapa? Justin Bibir?”. Kata Saripeh lugu.

“Justin Bieber lah ukhti... bukan bibir... haha”. Kata Butet terkekeh.

“Ya maaflah Butet... Aku tak tahu yang kaya begituan, aku kenalnya H. Rhoma Irama. Anti tahu kan yang nyanyinya begini nih..  Judi.. tett.. tet.. Judi.. is very good”. Kata Saripeh dengan menirukan gaya Bang H. Rhoma”.

“Haha... Apalah ukhti ini.. yang aku tahu dan menurut kesepakatan para ulama, yang namanya judi itu jelas not good. Haha.”. Kata Butet terpingkal-pingkal. Saripeh Cuma cengar-cengir kayak Kuda.

“Ya sudahlah..  lalu siapa yang nyanyi jaran ebeg tadi?”. Kata Saripeh.

“Aduh.. Pusing aku ngomong sama ukhti ini, jaran goyang lah, bukan jaran ebeg”. Kata Butet tepuk jidat.

“Terserah anti lah.. siapa-siapanya.. apakah Afgan atau kakakku Raisa? Hehe”. Saripeh tersenyum lebar banget dah.

“Hi... Itulah ukhti, Nella Kharisma?”. Kata Butet bangga.

“Oh..". dengan bulatan sempurna.

“Ukhti tahu siapa Nella Kharisma?”. Tanya Butet antusias.

“Enggak”. Kata Saripeh. Gubrak!

“Tapi yang jelas nggak boleh tuh anti.. nyanyi-nyanyi begituan lagi, nggak jelas, nggak ada faidahnya, mudharat tuh isinya lagu... baca sholawat aja ngantuk, giliran nyanyi dangdut semangat”. Jelas Saripeh panjang lebar, Butet Cuma mengangguk-ngangguk cengengesan.

“Iya ukhti, afwan”.

“Ya udah, aku pergi dulu... jaran goyang... jaran goyang....”. kata Saripeh sambil berdendang lirih.

“Katanyha haram, tapi ikut-ikutan... huu..”.gerutu Butet.

“Kenapa tet?”. Kataku mendekat.
“Biasa tuh...  senior kita”. Jawab Butet manyun.

“Ya sudah... nggak apa-apa. Yuh makan”.  Kataku mengajak Butet duduk, belum sempat merasakan empuknya lantai ubin, seorang santri berlari ke arah aku dan Butet dengan terengah-engah.

“Tet... gawat.. tet..”. kata dia.

“Kenapa? Ada apa??”. Kata Butet terkejut.

“Huh.. huh.. hashh... ada minum nggak? Haus nih”. Kata Si Santri tadi mencari air.

“Kagak ada... adanya gorengan”. Kataku menunjuk dua biji tempe goreng.

“Boleh deh... boleh...”. kata Si Santri sambil mengambil semua tempe gorengku dan Butet.

“Ya elah... gorengannya diembat semua lagi”. Gerutuku dalam hati.

“Ya sudah sekarang katakan apa yang ingin kau ceritakan”. Seloroh Butet kesal pada santri itu.

“Begini tet... ukhti.. di koran ada yang gawat..”. Santri itu berhenti untuk bernafas.

“Apa yang gawat? Bapak Jokowi kah? Atau tentang isu MCA (Muslim Cyber Army) lagi, ahh... Itukan Cuma hoax”. Kataku menjawab sekenanya.

“Bukan... bukan itu..”. jawab si santri masih terengah-engah.

“Lalu??”. Butet dan aku kompak.

“Anak-anak sekarang alias kids zaman now lagi ngalamin krisis moral dan aqidah, mereka sampe ada yang tega bunuh.... bunuh emaknya sendiri, Cuma gara-gara nggak dibelikan gadget”. Cerocos si santri kayak rem blong.

“Apaan tuh getget...”. kata Butet bingung.

“itu yang digeser-geser”. Jawab si santri.

“Ohh... ya.. ya.. “. Kataku mengangguk-ngangguk .

“terus kita kudu gimana?”. Kata Butet bingung.

“Kalian harus mencatat dan mencari solusi untuk masalah ini! Terus kalian kumpulkan massa, terus kalian pergi ke gedung DPR”. Kata si santri sok bijak.

“Stop!! Ogah... mending kita makan ini nasi yang gorengannya udah dimakan sama kucing garong”. Kata aku dan Butet meninggalkan santri tadi.

“Hehe... makasih ya tempenya, lumayan dapet tempe gratis..”.

Setelah selesai memakan nasi paling enak sedunia itu, Butet,  aku dan beberapa teman yang lain berbincang-bincang dibawah sinar mentari yang mulai memanas, dengan ditemani es yang segar dan kacang kulit. Mantap jiwa.

“Ukhti, menurut anti semua, definisi bahagia di zaman sekarang ini apaan sih?”. Kata Eva si santri nyentrik sambil memasukan kacang kulit. Mantap jiwa.

“Kalau menurutku, bahagia itu pilihan hidup, bahagiaku itu kalau setiap kali lihat si doi tersenyum”. Kata Eva mesem-mesem sendiri.

“Huu... dasar..”. timpal Butet.

“Kalau menurut aku sih bahagia itu... emm... saat aku... bisa buang hajat dengan lancar, oh... leganya..”. Kata Butet menepuk-nepuk perutnya.

“Hidihhh.... Jorok lu!”. Jawab kami kompak.

“Kalau menurutku, bahagia itu ketika kita masih bisa menjaga diri dari kerusakan moral dan aqidah dimasa ini, itu yang berat”. Kataku mantap.

“Kamu salah, yang berat bukan itu”. Seloroh Tuti si santri cantik bertubuh gempal.

“Terus?”. Kataku heran.

“Kata Dilan, yang berat itu rindu.. hehe”. Kata Tuti menyeringai.

“Dasar korban novel!”. Kataku kesal.

Saat kami masih asyik berbincang dari arah barat datang lagi seorang teman yang tubuhnya tinggi kurus sambil menyerobot es dengan muka yang masam.

“Kenapa kamu bet?”. Kata Butet mengambil gelas es pada Beti Similikiti.

فواكبدا من حبّ من لا يحبني

“Aduh kasihan sekali hatiku mencintai orang yang tidak mencintaiku”. Kata Beti muram.

“Kenapa ditolak lagi sama si Ujang tukang galon itu?”. Kata Eva mencemooh.

“Apaan kau ini va? Bukan si Ujang, si Ujang mah udah aku buang jauh-jauh”. Kata Beti manyun.

“Lalu siapa lagi? Firman atau Aziz yang item itu? Sudahlah Bet.. kau ini wanita, jaim -lah sedikit, jaga kekehormatanmu. Wanita itu dipilih bukan memilih”. Kata Tuti mendekati Beti.

“Memang iya... tapi aku sudah bosan menjanda, eh maksudku menjomblo”. Jawab Beti sambil kembali menyeruput es.

“Begini sajalah... Istikhorohlah dulu, minta petunjuk pada Allah”. Kata Butet dewasa sekali.

“Wah.. Ide basgus tuh”. Kata yang lain setuju.

“Aku takut kalau istikhoroh”. Jawab Beti pasrah.

“Loh, kenapa takut?”. Jawab kami heran.

“Aku takut yang nongol dimimpiku nanti Lee Min Hoo, kan mana mungkin aku menolaknya”. Kata Beti nyengir.

“Ya elah Bet.. kalaupun iya dimimpi yang nanti datang dimimpimu itu Lee Min Hoo, si oppa juga mikir-mikir. 1 Juta koma 900 ribu kali buat melamar kamu, masa iya Lee Min Hoo sama ulegan gado-gado??”. Kata Eva menusuk hati Beti. Makjleb!

“Hahahaha...”. tawa kami pecah. Melihat Beti yang manyun -nya maki maju.

“Kamu jahat..”. kata Beti dengan gaya alay.

Dan setelah seharian penuh para santri beristirahat dari kegiatan mengaji dan belajar yang amat melelahkan, malam ini pada malam Sabtu yang terasa sedikit dingin, dibawah sinar rembulan yang temaram setelah mengaji kitab “Nurudz-Dzolam” aku dan kawan-kawan menikmati malam yang panjang beratapkan bintang-bintang dan beralaskan bumi, kami kembali berbincang-bincang tentang kehidupan di zaman now.

“Ukhti... kalian tahu kan adikku? Kata Beti memulai percakapan malam ini.

“Siapa.. siapa?? Si Udin? Justin?? Monica?? Atau si Prilly??”. Jawab Butet.

“Mereka bukan adikku Tet.. Mereka kambing-kambing adikku si Fathimah”. Jawab Beti sewot.

“Hehe.. Maaf Bet, tapi menurutku kau lebih mirip dengan kambing-kambing adikmu”. Ejek Butet.

“Astaghfirullah.... maafkan dosa-dosa teman hamba Yaa Allah”. Kata Beti menengadahkan tangan ke langit.

“Aaamiin...”. jawab kami kompak.

“Mulia sekali hatimu nak”. Kata Tuti menepuk pundak Beti.

“Dan jomblokanlah mereka semua, aamiin...”. lanjut Beti dengan senyum jahat.

“Dasar Beti Similikiti, do’amu tidak baik tuh, dosa kau!”. Kata Tuti menasehati.

“Bodo.. Biar kita sama-sama jomblo dong”. Kata Beti membela.

“Kita?? Sama-sama?? Ogah! “. Kata kami kompak.

“Kalian jahat!!”. Kata Beti dengan gaya khas alaynya. Kami terbawa suasana yang ceria malam ini.

“Sudahlah kasihan Beti... Iya kan Bet?”

“Apalah kalian ini, manusia hina ... Aku laporkan kalian pada mentri”. Kata Beti manyun.

“Sudahlah Beti yang cantik, demplan-demplon, bahenol dan mon... tok jangan marah, ayo.. ayo.. ceritakan tentang adikmu si Prilly pada kami”. Ajak Butet pada Beti.

“Ah.. Adikku bukan si Prilly, tapi Fathimah”. Kata Beti makin manyun.

“Sudahlah bet... sama saja... mereka itu adik-adikmu, hehe”. Jawab Butet.

“Kambing ah..”. Sewot Beti.

“Lalu bagaimana cerita tentang Fathimah”. Kataku mendamaikan Butet dan Beti.

“Males ah!”. Kata Beti ngambek.

“Ayolah Bet...”. bujuk Butet.

“Baiklah... jadi ceritanya.. pada zaman dahulu kala..”. kata Beti memulai bercerita.

“Stoppp!! Kok pada zaman dahulu sih? Adikmu si Fathimah itu manusia purba ya?”. Sanggah Tuti.

“Bukan... bukan... tapi, biar seperti pendongeng. Professional dong!”. Jawab Beti.

“Terserah kaulah Bet..”.Kata Butet.

“Ceritanyakan si Fathimahkan sekolah di SD Elite International... (padahal cuma SD Impress yang mewah ~ baca. Mepet Sawah). Jadi, suatu hari seorang guru datang dia cantik, putih, rambutnya panjang masih muda pula  kata adikku, lalu saat masuk ke dalam kelas dia menatap tajam ke semua anak-anak, sampai-sampai teman sebangku Fathimah pipis di celana”.

Kata Beti serius menatap ke teman-teman secara bergantian. Lalu melanjutkan ceritanya.

“Tapi, coba tebak apa yang guru itu lakukan? . kata Beti tajam.

“Menyuruh teman sebangku Fathimah keluar kelas”. Kata Tuti coba menebak.

“Hemm.. tidak! Coba yang lain”. Sambung Beti.

“Hah... guru itu marah-marah lalu keluar dari kelas??”.  Aku coba ikut menebak.

“Bukan! Ada yang lain? Atau menyerah? Kau tak ikut menebak Butet?”.hujam Beti pada Butet.

“Hemm.. males ahh”. Kata Butet memalingkan wajah.

“Baiklah kalau tak ada yang mau menjawab, biar aku yang  menjawab”. Kata Beti bangga.

“Lalu apa yang dilakukan guru itu?”. Tanya Tuti penasaran.

“Guru itu kemudian duduk dan meletakkan buku-bukunya diatas meja, terus ketika guru itu membuka laci dan aaaaaarggghh tikuuuss.... tikuss... Guru itu lari deh....”.

Hahaha... Beti tertawa terbahak-bahak. Sedang aku, Butet, dan Tuti memandangi Beti dan Tuti memandangi Beti dengan tatapan aneh.

“Kenapa tidak tertawa? Bukannya itu sangat lucu? Haha”. Lanjut Beti terpingkal-pingkal.

“Nggak lucu!!”. Kata kami kompak.

“Oh, baiklah. Aku lanjutkan... lalu, keesokan paginya si guru datang lagi. Kali ini tatapannya lebih tajam. Setelah menyapa murid-muridnya, dia meletakkan buku-bukunya diatas meja. Tapi, kali ini ia tidak membuka laci. Mungkin, dia takut. Hehehe”. Beti berhenti kemudian  melanjutkan.

“Lalu, bu guru cantik itu memulai pelajaran dengan menulis dipapan tulis. Tulsiannya  ‘Budi dan Ani pergi ke Pasar’. Ayo baca! Kata si Guru judes. Tapi murid-muridnya hanya saling diam dan memandang satu sama lain”. Kata Beti masih antusias.

“Ceritanya nggak asyik lah Bet, ganti saja”. Sergah Butet mulai bosan.

“Nantilah sedikit lagi, aku masih terus diam, lalu si guru mungkin berfikir anak-anak sekarang tidak bisa membaca karena kebanyakan main game-nya, akhirnya si guru membantu dengan membaca tulisannya sendiri. Budi dan Ani pergi ke pasar”. Kata si guru itu lebih lembut dan kompak pula murid-muridnya menjawab.

“Ciee.....”.

“Loh, kok ciee??”. Kata si guru bingung.

“Kan si Budi pergi ke pasarnya berduaan sama si Ani bu, mereka pacaran ya bu?”. Kata seorang murid, lalu si guru itu Cuma bisa diam, mukanya merah padam, terus keesokan harinya nggak masuk lagi deh. Tamat. Kata Beti seperti kelelahan.

“Haha... keren tuh anak-anak “. Kata Butet memuji.

“Apanya yang keren? Orang mereka pada kurang ajar semua”. Kata Tuti melotot.

“Maksud kamu si Fathimah kurang ajar Tut?”. Kata Beti tiba-tiba.

“Maksudku bukan kayak gitu bet.. selow... slow.. tarik nafas.. buang.. nah santai. Maksudku itulah anehnya anak zaman sekarang.  Sama orang tua berani, sama guru apalagi, kalau pacaran... ampun dah... nggak ketulungan . Ngakunya muslimah, tapi pake hijab nggak sesuai aturan, pake baju tapi body-nya nongol semu, astaghfirullah...”. kata Tuti mengelus dadanya.

“Iya tuh bener, iya sih pake kerudung tapi rambutnya di cat, mukanya putih pake bedak apa tuh, nggak ngerti, alisnya kayak ulet keket nemplok, wuih... bibirnya merah banget, gigi pake pager, tuh muka apa rumah?? Hehe”. Seloroh Butet.

“Haha... katanya lagi nge-trend, astaghfirullah... makannya kita kudu bersyukur bisa mondok di Pondok Pesantren, biarpun terkurung tapi kita terjaga lahir bathin, kalau soal prestasi ayo dong buktikan kalau santripun bisa, kita memang ter-isolasi tapi prestasi tetap ber-evolusi. Iya kan?”. Kata Beti berapi-api.

“Setuju”. Jawab kami kompak.

“Kalau soal budi pekerti apalagi, kita santri mesti memberi contoh, yang baik, syukur-syukur, kamu ajak merekka kembali ke jalan yang benar”. Kataku antusias.

“Hehe... aku aja belum bener, mau ngajak-ngajak orang”. Kata Butet garuk-garuk kepala.

“Sedikit-sedikit tak mengapa yang penting ada niat ingin berbagai kebaikan”.

النية بلا عمل خير بلا نية

Yang artinya : “Niat tanpa amal itu lebih baik daripada amal tanpa tanpa niat”.

“Nah, yang pentingkan kita ada keniatan untuk melakukan kebaikan. Ok!”.
 Kataku lagi, Butet, Tuti, dan Beti mengangguk setuju. Tet... tet.... tet...

“Nah, bel-nya udah bunyi yuk, tidur”. Ajakku.

“Ayo..”. jawab yang lain mengikuti.

-SELESAI-

*Profil Penulis

Nama saya Kharismatul Mawaddah, di kelas 3B Muta’allimat asal kota Tegal Turkey City, nama pena “Crumuttere”. Insya Allah tidak ada niat buruk dalam penulisan cerpen diatas.

Mohon maaf apabila ada kata-kata yang kurang berkenan, saya hanya ingin meramaikan atau berpartipasi, soal kalah dan menang urusan belakangan. Semoga menghibur, soal lucu atau tidaknya tergantung selera humor masing-masing.

Terima kasih. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

LOMBA MENULIS 2018 | SITI MASFUROH - ATAS RENCANANYA YANG AGUNG, YANG MEMPERTEMUKANKU PADA KITAB YANG AGUNG

LOMBA MENULIS 2018 | SITI NURHAYATI - KEKURANGAN JANGAN KAU JADIKAN KELUHAN