LOMBA MENULIS 2018 | SITI NURHAYATI - KEKURANGAN JANGAN KAU JADIKAN KELUHAN
KEKURANGAN
JANGAN KAU JADIKAN KELUHAN
Oleh : Siti Nurhayati*
Aku Nilam, seorang santri yang mungkin terkenal dengan
kenakalannya. Sebut
saja “Pesek”. Sebutan
yang indah meskipun menyakitkan, namun sudah menjadi takdir kenyataan
dengan keindahan hidung yang mancung ke dalam, dan hal ini sangat langka menurutku
yah!
Mengapa? Karena hampir satu Pondok
hanya akulah yang seperti ini. Hal yang tidak wajar menurutku bisa dibilang
kekurangan pastilah setiap manusia memiliki kekurangan dan kelebihan dan dari
salah satu tersebut itulah kekurangan yang saya miliki.
Aku tamatan SMP, dan kedua orang tuaku lebih memilih
aku untuk lanjut disebuah Pesantren. Awalnya aku mau, karena aku kira lanjut ke SMA
ataupun SMK. Yah! sebuah keinginan dan cita-cita untuk menggapai impianku.
Aku terkejut, cemas, bingung
fikiranku, kemana-mana saat
aku dengar kata salaf. Entah kenapa aku tidak menginginkannya, tidak tertarik sama sekali aku
anggap santri salaf itu hal yang rendah sekali. Apa jadinya dengan masa depanku
nanti, bagaimana dengan prestasi sekolahku, bagaimana dengan cita-citaku.
“Hmm… aku sudah nggak tenang sama
sekali dengan sebuah sebuah pilihan orang tuaku, apa aku harus pergi jauh dari
dunia sekolahku”. tanyaku dalam hati.
Aku berusaha membujuk ayah dan ibuku,
agar aku bisa melanjutkan sekolahku, menggapai cita-citaku menjadi dokter yang
apabila ayah ibuku sakit akulah yang akan merawatnya, membalas kasih sayangnya
ketika ia harus rela mengurusku yang sakit-sakitan, saat aku kecil dulu dan
kini aku tumbuh dewasa sesuai dengan apa yang diharapkan oleh mereka.
Didepan ruang tamu seperti biasa
tempat kami berkumpul “mengapa harus seperti ini ibu, apa nggak ada pilihan
lain?”, tanyaku mencoba mengawali pembicaraan. “Pilihan apa yang kau mau?
Pesantren adalah pilihan yang tepat untukmu nak”. “Apa ibu nggak bangga dengan
prestasiku selama ini?”. “Itu hal yang biasa nilam!”. Ucap ibu. Rasanya sakit
ketika ibu melontarkan kata-kata tersebut, aku belum bisa menerima kenyataan
ini. Ayahpun mulai bertindak, yang tadinya terdiam dan hanya mendengarkan
ocehanku.
“Nilam, kamu itu susah dibilangin
yah! oke ayah akui anak ayah pinter, selalu dapat prestasi, tapi ayah nggak
suka dengan perilakumu, kamu selalu keluyuran sampai lupa dengan waktu, ayah ingin kamu itu belajar tentang
ilmu agama nak, agar kamu bisa menjadi diri pribadi yang lebih baik untuk
cita-citamu bahkan masa depanmu”.
Aku hanya bisa terdiam dengan
bercucuran air mata, tak kuasa untuk melihatnya. Ternyata apa yang aku fikirkan
tak mampu membuatnya lebih bahagia. Aku sadar ternyata perhatiannya lebih besar
tentang masa depanku. Akhirnya aku mencoba menuruti kemauan orang tuaku.
“Baiklah ayah, ibu… aku siap dengan
pilihan itu”. Ucapku dengan nada yang lirih dan mencoba mengikhlaskan apa yang
terjadi. “Alhamdulillah anak ibu siap. Jadi, mulai besok kita ke pesantren
yah!?”, ucap ibu. Aku hanya bisa mengangguk dan berserah diri pada yang kuasa.
Entah tak tahu apa yang akan terjadi dimasa depanku.
Menuju Pesantren…
Pagi yang cerah telah menjemputku
untuk bergegas menuju Pesantren yang mungkin suatu hal kebahagiaan kedua orang
tuaku. “Nilam!”, terdengar suara teriakan ibu memanggil namaku. Masih ditempat
yang sama, disebuah kamar dan masih mengenakkan baju tidur. “Masya Allah Nilam!
Jam berapa sekarang ditunggu dari tadi?!”. Gerutu ibu. “Iya bu, bentar lagi”.
Di depan gerbang pesantren...
Telah sampai
sudah sebuah tempat yang kami tuju. Ayah-Ibuku menyerahkanku pada Pengasuh
Pondok Pesantren tersebut dan saat itu juga mereka mulai meninggalkanku. Hanya
satu ucapan yang terlontar, “semangat”. Ujar ibu menyemangatiku.
Satu minggu kemudian...
Seperti biasanya
para santri disetiap hari Jum’at mengadakan ro’an bersama, istilahnya
bersih-bersih pondok. Ada banyak santri mendapatkan tugas, diantaranya Dapur,
Halaman, Aula, Kantor, dan lain sebagainya. Dan saat itu juga aku mendapatkan
tugas membersihkan Halaman Depan Pondok. Agak bingung dan nggak mengerti akan
tugas yang diberikan saat itu. Aku hanya diberikan sapu dan serokan.
“Gimana kak caranya?”. Tanyaku mencoba memberanikan diri.
“Masa nggak tahu, model apaan santri nggak tahu bersih-bersih, hahaha”.
Jawabnya. Disitu mungkin aku terlihat sangat konyol sekali.
“Kok masih berdiri?”. Tanya salah satu santri yang pastinya aku tidak
mengenal siapa dia.
“Gimana kak caranya?”. Lagi-lagi ku menyakannya hal yang sulit bagiku.
Keesokan harinya...
Terlalu pusing bagiku dengan keadaanku yang seperti
ini. Ingin segera pulang apa lagi besok ada haul, mungkin alangkah baiknya
kabur saja secara diam-diam, jadi disini nggak dibully lagi deh.
“Woy pesek! Kayak orang gila lu duduk dijalanan, apa nggak malu diliatin
anak santri putra?”.
“Maksud lo? Tanya siapa lo? Gua Nilam keles”.
“Hidung lo tuh yang pesek. Hahaha. Nggak kira-kira mancungnya sampe ke
dalem”.
“Ihh... Bikes deh!”.
“Alah... Mikirin orang gila bisa gagal rencanaku”.
Ditengah perjalanan...
Setelah beberapa kemudian, alhamdulillah aku semakin
bisa mengaji sampai aku bisa menemukan titik keberhasilan yang membanggakan
kedua orang tuaku. Semua ini berkat jasa-jasa guruku dan semangatku yang
awalnya aku ini anak yang nakal, pemalas, yang selalu membuat orang tuaku
marah, malu, ternyata ilmu agama itu lebih penting untuk di dunia bahkkan di
akhirat. Meskipun secerdas apapun seseorang dibidang ilmu formal, namun tak
didasari dengan ilmu agama itu seakan-akan percuma hidup didunia, karena hanya
dengan akhlak, amal, dan perbuatanlah yang dicari.
*Penulis adalah
siswi kelas 2 Muta’allimat M4H ASSALAFIYAH
Nama : Siti Nurhayati
TTL : Brebes, 01 Januari 2002
Alamat : Tegalgandu Perbatasan
Siwungkuk – Kec. Wanasari – Kab. Brebes
RT. 10 / RW. 09
Komentar
Posting Komentar