LOMBA MENULIS 2018 | BILLAH ARIFIYATI - SKENARIO MENGHAFAL ALFIYAH
SKENARIO MENGHAFAL ALFIYAH
Oleh : Billah Arifiyati*
“Hening ku rasakan saat ini, berdiri diatas
tangga, seraya menatap indahnya alam semesta hamparan sawah dan dedaunan yang
hijau... Menentramkan hatiku dalam kesendirian.. ”.
Meski, dalam kesendirian, aku merasa
ditemani... ditemani oleh teman baruku, ia bisu.. ia tak mampu menjawab
pertanyaanku, tapi ia setia tuk selalu bersamaku, aku sesering mungkin menangis
bersamanya, tapi ia tetap bisu dibalik kebisuan itu aku selalu tenang bersama
kebisuannya.
Terkadang ia pergi.. walau perginya hanya
sebentar, dalam kepergiannya pasti kembali, bahkan tak jarang orang-orang
sering mengantarkannya padaku, mereka tahu kebersamaanku dengannya. Hanya saja
terkadang dia tak tahu dimana aku, padahal aku selalu mencarinya disetiap kali
dia pergi, ku tanyakan pada orang-orang melihatnya. Maka dari itu seringkali ia
dihantarkan kembali padaku. Dan dialah
teman baruku “Alfiyah”.
Aku selalu membawanya, kemana aku pergi,
keluarpun aku sering membawanya, walau tidak untuk dibuka. Entah!! Ku rasakan
ketenangan saat ia berada dalam dekapanku “Inilah awal penggapaianku”, mataku
terpejam, tersorot sinar mentari yang menyilaukan kedua mataku, tapi semua ini
tidak mengajakku tuk beranjak, aku tetap mempertahankan posisiku (berdiri
diatas tangga) sambil memandang teman-temanku berbondong-bondong untuk pulang
menuju rumah masing-masing. Jam menunjukkan pukul 09:02, keadaan Pondok
benar-benar sepi hanya ada kau, temanku, dua alumni dan pengurus. Mereka
menikmati hari kepulangan, mereka bergegas-gegas secepatnya untuk segera
pulang. Berbeda dengan aku yang harus menanti 10 hari lagi menuju rumah karena
ada ujian paket.
Biarlah.. Aku lebih senang dengan teman baru,
Teman Bisuku. “Ini adalah akhir yang menjadi awalku. Akhir tahun yang menjadi
awal penggapaianku meraih Alfiyah.” Mulai detik ini 09:36 ku mulai membukanya,
ku awali ucapan “Bismillahirrohmaanirrohiim....”.
قال محمد هو ابن مالك #
احمد ربى الله خير مالك
Mungkin
lafadz itu tanpa harus dieja, karena sesering mungkin aku mendengarnya, ku
lanjutkan bait-baitnya setiap pagi, setiap sore, setiap malam, aku tekadkan aku
harus meng-lalarnya 100 bait disetiap membukanya. Hari pertama ini aku
berhasil. Dalam tekadku, meng-lalar hingga 100 bait dalam waktu pagi, sore, dan
malamku. Ditotal jadi 300. Ini wasiat guruku yang pernah mengajarku sewaktu
kelas 3.
Hari demi
hari ku lalui bersama teman seperjuanganku. Tekadku men-target Alfiyah tetap
berjalan hingga 10 hari liburan Pondok.
Kini, tibalah waktunya liburan dirumah. Aku udah nge-feeling, liburan
dirumah pasti banyak kecerobohan waktu, udah lagi ditambah handphone! Pasti
plus + plus + maksiat .
Pukul
14:58
Aku pulang menuju rumah bersama
teman-temanku, jarak yang harus ditempuh tergantung kecepatan kendaraan, bus
mini (elef) yang ku tumpangi menuju agak cepat hingga tiba dirumah pukul ±
16:00, itupun harus dua kali pindah elef. Jarak antara rumahku pun cukup dekat,
mungkin sekitar 10 meter jadi tidak perlu diantarkan becak kendaraan beroda
tiga.
Hari
pertama dirumah, aku habiskan untuk banyak beristirahat, mungkin aku lelah
dalam perjalanan, paginya aku baru membuka handphone. Ada dua pesan diterima,
udah ku tebak pasti DIA. (coba ku buka). 1.) “Assalamu’alaikum wr. wb”. 2.)
“Pripun kabare?” (gimana kabarnya?). Walaupun ini nomor baru tapi aku sudah
bisa menebak! “DIA”. Dia itu bukan siapa-siapa, aku nggak sempat jalin pacaran
sama dia, karena kita nggak mau buat Allah cemburu atas hubungan ini, yang kita
takutkan, kalau kita mencintai hamba-Nya. Barangkali cintanya itu mampu melebihi cinta kita kepada
Allah SWT. Kita hanya berteman, itupun lewat telfon genggam, tak pernah kita
menyempatkan pertemuan., karena itu hanya akan menjerumuskan pada hal yang
tidak diinginkan.
Dua sms
itu ku balas dengan penuh keramahan bahasa khasku dan dia (bahasa kromo),
mungkin inilah bahasa yang lebih pantas digunakan untuk santri. Aku sadar dia
bukan siapa-siap , tapi dari kesekian juta hari yang ku jalani bersamanya
menimbulkan arti tersendiri.
Waktu
terus bergulir, hari terus beranjak. Tidak begitu padat aktifitas dirumah, aku
membiasakan bercakap-cakap dengannya, membahas suatu pelajaran, saling bertukar
fikiran, menanyakan hukum-hukum syari’at islam, yang lebih membuatku malu,
ketika aku mengetes pelajaran nahwu, sungguh aku benar-benar malu dihadapannya,
ternyata aku mengetes dengan pertanyaan yang salah, dia lebih pandai dibidang
nahwu daripada sosok sepertiku, akupun menganggapnya bagai guru private yang
selalu mengajariku. KARENA MENGENAL BUKAN UNTUK BERCINTA.
Suatu
hari…
Ayah mengajakku untuk mendatangi ,
pengajian yang diisi dengan tausiyah Al-Habib Thohir, bertempat di Alun-alun.
Acara itu adalah “Acara Menyambut Datangnya Bulan Suci Romadhon”. Disela-sela
ceramahnya beliau Al-Habib Thohir berbicara yang mana pembicaraannya menuju pada
sindiran keras untuk remaja, dewasa. “Kalau ada diantara kalian orang yang
berpacaran dibulan Romadhon ini, saya
do’akan semoga hubungannya hancur. bla.. bla.. bla..”.Ucapan beliau sangat
lantang dan terus diulang-ulang, “Melakukan kemaksiatan dan bersamanya, (semua
katakan aamiin!!)”. Sejenak ayahku tersenyum padaku. Akupun berkata : “Aku
tidak berpacaran ayah!”. ayahku menepuk-nepuk pundak kiriku dan kembali
tersenyum.
Perkataan
Sang Habib menghujani relung hatiku… bisikkan-bisikkan tak tentu arah terngiang
dalam otakku (benarkah kamu tidak pacaran? benarkah? lalu, siapa dia?).
*Astaghfirullohal’adzim *. Dalam perjalanan pulang aku terus emmikirkan hal itu
kepada dia! Dan.. Aku pun menceritakan semua hal itu kepada dia! Ku dapati jawaban
darinya : “Habib Thohir??”. “Beliau itu memang keras ajakan dan ajarannya!”.
Hatiku canggung, kembali ku balas pesannya meminta pendapat, “Hmm.. Bagaimana
kalau dalam satu bulan suci itu kita tidak mengisi percakapan (tidak
berkomunikasi) demi menjaga datangnya hal buruk”. Dan.. Diapun mengiyakan atas
kemauanku demi yang terbaik, kita memang tidak berpacaran, kita hanya menjalin
tali silaturahim yang sudah terikat sejak satu tahun yang lalu.
Sidang
isbat penentuan hilal bulan Romadhon jatuh pada hari itu. Semestinya ini hari
terakhir berkomunikasi, ku sambut Romadhon ini dengan keniatanku yang lebih
mantap, tanpa harus berkomunikasi dengan seorang lakipun. Dua hari kemudian aku
kembali ke Pesantren guna menjalankan kegiatan kilatan Romadhon selama 21 hari
di penjara suci. Sisa 9 hari dirumah menuju lebaran, hari yang ku jalani terasa
sepi, tanpa canda, gurauannya, perdebatan, diskusi, celotehan dan
kejahilan-jahilan semata. Semua itu mengundang kerinduan, hingga malam Romadhon
berakhir berganti menjadi malam Lebaran. Rindu itu tertuntas karena kehadiran
pesan darinya “Assalamu’alaikum, jika benar ini adalah hari lebaran, izinkan
aku ‘tuk menanyakan kabarmu”. Beberapa detik kemudian handphoneku ku bordering
yang tak lain adalah dirinya, lalu ku angkat telfon tersebut dengan nadaku yang
ku perkecil. "Wa'a“ai’umussalam Wr. Wb”. Ku jawab salam dirinya,
berbincang-bincang dengannya beberapa menit, mulai dari menanyakan kabar,
keadaan apa saja yang dilalui tanpanya, tanya jawab pelajaran, sampai akhirnya
aku tersentak memutuskan sebuah hal, pengorbanan dalam perjuangan menggapai
Alfiyah. Ku tanyakan padanya, apakah hadirku membuatnya memikirnya sosok
sepertiku? Jika iya maka sama sepertiku…
Ku
bicarakan padanya baik-baik tentang penggapaianku meraih 1002 bait Alfiyah.
Jarak itu harus ditempuh selama 3 tahun, lalu bagaimana kita bisa menaklukannya
jika diri kita sama-sama dalam godaan nafsu. Bagaimana tanggapanmu, jika kita
kembali seperti hal kemarin. Selama 3 tahun tanpa harus berkomunikasi? dan
diapun tersentak, terdiam tanpa kata, sempat ragu dalam hatinya terlintas, ia
mencoba menyuruhku untuk fikirkan baik-baik, bukan karena apa, tapi dia lebih
tahu tentang hati seorang wanita itu lebih rentan rapuh dibanding hati seorang
lelaki, namun aku mencoba meyakinkan keniatanku.
Sebelumnya
aku sudah aku sudah memikirkan hal ini, “Sebuah Perpisahan Walau Sementara”.
Jauh-jauh hari bahkan sejak aku masih dikelas 3, aku juga memintakan pendapat
tentang hal ini kepada kedua orang-orang terdekatku, sebagaiannya ada yang
mendukung dan sebagaiannya banyak juga yang mencegah. Mereka bilang “Melepaskan
seseorang yang telah lama hadir dalam kehidupan kita itu tidak mudah, bahkan
lebih mudah menghafal bait Alfiyah”. “Bagaimana mungkin hidup tanpa penyemangat
, bagai kaktus yang merindukan air, kamu bakal upacara disengat teriknya
rindu”. “Menahan rindu itu bagai mempertahankan daun yang ditampar angina
kencang”. Itulah sebagian pendapat “Tanggapan Mereka”. Tapi, aku tetap
bersikeras.
“Derajat rindu
tertinggi itu ketika dua insan saling mendo’akan”
Aku ingin
belajar dari sebuah batu karang dilautan walau diterpa ombak tapi ia tetap
kokoh (tegar meski ditimpa cobaan). Dan akhirnya, dia mengertikanku, karena
semua demi kebaikan aku dan dia demi penggapaian meraih Alfiyah menuju
kesuksesan. Seiring berjalannya waktu,
hingga perpisahan itu menyapa menyisakan pesan terkenang darinya “Aku
mengenalmu, bukan untuk mencintai atau dicintai, aku mengenalmu itu, untuk
mengetahui sebesar apa dan sejauh mana
kedewasanku dalam membimbing nafsu”. hatiku berdesir, bagai pasir yang
dihempas angin. Ya Allah, hamba ingin membersihkan hati atas kemaksiatan yang pernah
hamba perbuat diatas muka bumi ini.
Alfiyah...
Ku sucikan kehadiranmu tanpa seorangpun yang singgah
dalam hatiku
semua itu pengorbananku...
demi menggapaimu..
segalanya ku lakukan untukmu..
bahkan aku lebih tahu banyaknya cobaan tuk mampu
merangkul
seluruh bait-baitmu..
badaipun takkan mampu menjatuhkan ketangguhan hatiku
untuk bersamamu..
kaulah salah satu saksi dalam jihadku..
Alfiyah...
Ku tak ingin menyerah tuk mendapatkanmu
meski cobaan menghadangku, sampai tangispun
kan menjadi korban disetiap cobaan yang menerpaku...
karena kaulah bagian hidupku
Alfiyah...
Izinkan aku tuk menaklukanmu..
biarkan kau menjadi teman bisuku...
dalam renungan lamunanku..
ku tunjukkan betapa berharganya dirimu..
dalam hidupku...
tanpamu...
entah apa jadinya aku...
15 Syawal
1438 H,
Aku kembali ke penjara, mulaiku ayunkan
langkah demi langkah , banyak rintangan-rintanganku kecil yang harus ku lalui
dalam penggapaian awal (250 bait). Semua ku anggap mudah tanpa beban berat. Ku
rasakan kepuasan dalam target (250 bait).
Namun,
jauh berbeda ketika menuju target (500 bait), seakan-akan aku dihantam badai
berkali-kali, mulai dari susah menghafal, kehilangan kebersamaan sahabat,
sering sering drop out, jatuh sakit berkali-kali dan masih berderet cobaan
lain, segalanya akan tetapi Allah memberiku sebuah anugerah, banyak orang yang
hadir untuk memberikan kesemangatan, menguatkanku, meyakinkanku, membagi
inspirasi agar aku tetap bersabar, aku sangat bersyukur atas kenikmatan-Mu, dan
akupun merenungi, kembali bangkit dengan keyakinan yang kuat.
Menjelang
muhafadzohpun aku mampu dengan target dan kelancaran. Alhamdylillah, sempat tak
percaya ku sanggup meraih setengah dari keberhasilan. “Sujud syukurku pada-Mu,
Yaa Robb”. Terlintas dalam fikiranku, aku teringat perkataan Ibuku. Dulu, sejak
ibu mengantarkanku ke penjara suci ini, Ibu hendak mendaftarkanku sebagai
santri hafidzoh, tapi Ibu kembali memikirkan keadaanku yang bodoh akan hukum
syari’at islam, terlebih dalam bab bersuci, ibupun mempertanyakan hal
ini kepada ayahku untuk memintakan pendapat dan jawaban ayahkupun lebih memilih
hukum yang lebih fardlu bagi seorang yang ber-tholabul-‘ilmi. Yah, ternyata aku
didaftarkan disebuah Madrasah, buakan sebagai hafidzoh qur’an. Tapi ibuku
menginginkan aku menjadi hafidzoh setidaknya 5 tahun atau 4 tahun menjadi
khotimat bin nadzhor dan setelah khotmil qur’an aku berlanjut sebagai khotimat
bil ghoib (yakni hafidzoh qur’anul karim 30 juz). Dan kini adalah jenjangnya
dari 5 tahun yang telah ku lalui.
Hempas, hatiku dihujani dengan banyaknya
hal... ketika kesemangatan itu itu tumbuh meyakinkan Alfiyah, kini benakku disambung
dengan keinginan kedua orang tuaku menjadi salah satu anak perempuan sebagai
seorang hafidzoh, sungguh... betapa gelisahnya hati ini, semestinya hal ini
akan diungkit kembali, dan sering menjadi bahan perbincangan dalam keluarga.
Bagaimana mungkin?
“Menjadi seorang hafidzoh adalah impian kedua orang
tuaku...
Menggapai sebuah Alfiyah adalah harapanku diatas janji
suci yang pernah ku bangun bersamanya..
Robbi.. akankah itu menjadi takdir hidupku...
ataukah ini hanya cobaan dalam penggapaianku meraih Alfiyah..
aku menunggu jawaban-Mu dalam istikhorohku...
karena hidupku telah kau buatkan sebuah skenario
garis takdir dalam melangkah pada jalan-Mu”.
Ariffiyha Rosyidatul Fuadah @ Kavvta
*Penulis adalah siswi kelas IV Muta’allimat M4H
ASSALAFIYAH 2017/2018
Komentar
Posting Komentar